Salah satu ciri yang dimiliki oleh umat manusia adalah memiliki pandangan subyektif tentang sesuatu yang diketahui atau dialaminya. Aspek subyektivitas yang melekat pada diri manusia inilah yang menjadikan seluruh pandangan manusia yang seringkali diklaim sebagai suatu kebenaran adalah bersifat relatif, tidak mutlak.
Pengertian kebenaran universal yang seringkali dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakekatnya jika sampai pada implementasinya pasti akan tersentuh oleh interprestasi (subyektivitas) manusia, dan ini memang mustahil bisa dihindari. Interprestasi atau pemikiran manusia itu sudah pasti dipengaruhi oleh lingkungannya. Beberapa faktor seperti budaya, keyakinan agama dan solidaritas (politis), akan menjadi faktor yang bisa mempengaruhi pemikiran manusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi juga sikap dan pandangan masyarakat terhadap rasa keadilan.
Jadi nilai-nilai HAM yang bersifat universal yang selalu diukur dengan rasa keadilan, seperti tidak boleh membunuh, memfitnah, menyiksa, mengebom warga sipil dan diskriminasi, akan mengalami "de-universalisasi" apabila sudah sampai pada dataran empiris. Maka adalah wajar apabila ada suatu kaum atau bangsa atau perseorangan yang merasa bahwa nilai-nilai HAM yang mereka tafsirkan atau "mazhab" HAM mereka adalah yang paling benar dan universal. Persoalannya akan menjadi tidak wajar dan sangat kurang ajar apabila mazhab HAM yang mereka anut dipaksakan harus diikuti oleh seluruh umat manusia didunia tanpa perkecualian.
Pengaruh subyektivitas manusia terhadap penafsiran nilai-nilai HAM tersebut menyebabkan pandangan masyarakat tentang korban pelanggaran HAM juga tidak sama, apalagi jika ada kepentingan politik dibalik pendapatnya. Sebagai ilustrasi: Jika kita menemukan banyak mayat tergeletak akibat pembunuhan sadis, maka kita akan bertanya terlebih dahulu, ini mayat siapa? apa agamanya? Nasrani misalnya, maka kelompok masyarakat yang seiman dengan mayat itu akan berteriak lantang bahwa ini adalah pelanggaran HAM yang keterlaluan. Pelakunya harus diseret ke Pengadilan dan dihukum seberat-beratnya.
Dunia barat-pun biasanya akan menekan kepada pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM itu. Sementara umat yang lain agama hanya diam saja atau pura-pura tidak mengetahuinya. Sebaliknya jika agama korban adalah Islam, Maka anggota masyarakat Muslim akan berteriak keras bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap umat Islam, ini harus diusut tuntas dan pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Sementara dunia barat, biasanya tidak bersuara, kalaupun bersuara hanya setengah hati, seakan-akan tidak ada pelanggaran HAM. Demikian juga dengan masyarakat yang tidak seagama dengan korban.
Di kalangan umat Islam sendiri dalam hal korbannya umat Islam akan muncul pertanyaan, korban ini Islamnya ikut aliran apa? apa kelompok kita atau bukan? sehingga protes ataupun reaksi dari kelompoknya atas pelanggaran HAM itu akan ditanggapi dengan enteng oleh kelompok lain, bahwa reaksi atau protes itu tidak mencerminkan aspirasi seluruh umat Islam. Kemudian dengan dingin tanpa beban, mereka mengatakan: "itu kan hanya reaksi kecil kelompok Islam tertentu, janganlah mengatasnamakan umat Islam seluruhnya".
Demikian halnya apabila yang menjadi korban adalah kelompok etnis tertentu, maka jika ada protes dari tokoh masyarakat setempat terhadap pelanggaran HAM itu, akan dikomentari oleh orang-orang yang merasa dirinya paling berwawasan kebangsaan, bahwa tokoh itu cara berpikirnya primordial. Sementara ia sendiri tidak peduli terhadap korban pelanggaran HAM itu karena (mungkin) tidak ada kaitannya dengan kepentingan kelompoknya, atau boleh jadi pelanggaran HAM itu tidak merugikan kelompoknya.
Yang terpenting disini adalah bukan saling memojokan terhadap reaksi orang atau kelompok atas pelanggaran HAM yang menimpa dirinya, melainkan yang dibutuhkan segera adalah rasa empati terhadap korban dengan menunjukan sikap proaktif dan penolong siapapun orangnya, apapun agama dan etnisnya, yang menjadi korban pelanggaran HAM.
Untuk tingkat suatu bangsa saja (Nasional) ada perbedaan cara merespon terhadap kasus pelanggaran HAM, apalagi untuk tingkat bangsa-bangsa (Internasional). Mari kita bandingkan KPP HAM Timor Timur dengan KP3 HAM Tanjung Priuk, baik dari segi cara kerjanya, peliputan media ataupun dunia barat. Sulit rasanya kita menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan diantara keduanya.
Memperhatikan contoh kasus diatas muncul suatu pertanyaan, apa benar bahwa bangsa/pemerintah Indonesia sungguh-sungguh ingin menegakan HAM secara adil? ataukah pelaksanaan penegakan HAM di Indonesia hanyalah untuk mengikuti kemauan dan menyenangkan negara-negara Kapitalis (Barat)? sebab, kesan selama ini dunia barat selalu menggunakan isu HAM untuk menekan negara lain yang kurang atau tidak disukainya.
HAM nampaknya telah dijadikan sebagai instrumen baru untuk mencapai tujuan politik. Padahal HAM bukanlah sekedar rumusan-rumusan definisi menurut orang-perseorangan, kelompok, bangsa atau pemerintahan suatu negara, tapi ia adalah nilai-nilai yang mengandung rasa keadilan. Jadi substansi HAM adalah keadilan. Dengan demikian upaya penegakan HAM yang meninggalkan nilai keadilan sama saja dengan melakukan pelanggaran HAM baru.