Dalam pengajuan gugatan harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1) Rbg. Namun keharusan pengajuan gugatan dalam bentuk tertulis itu ada pengecualiannya yang terdapat dalam Pasal 120 HIR dan Pasal 144 Rbg dimana disebutkan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya ketua pengadilan mencatat hal ihwal gugatan itu dalam bentuk tertulis.
Mahkamah Agung dalam putusan No. 547 K/Sip/1972, tanggal 15 Maret 1972 menyatakan bahwa oleh karena HIR dan Rbg tidak menentukan syarat-syarat tertentu dalam isi surat gugatan, maka para pihak bebas dalam menyusun dan merumuskan sebuah gugatan dengan catatan mencatat segala dan menggambarkan segala kejadian yang menjadi dasar gugatan. Memang dalam HIR dan Rbg tidak dijumpai adanya ketentuan mengenai penyusunan gugatan, namun persyaratan mengenai isi gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8 Nomor 3 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:
- Identitas para pihak.
Yang dimaksud dengan identitas ialah ciri dari penggugat dan tergugat yaitu, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat tinggal, kewarganegaraan (jika perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan persoalan harus disebutkan dengan jelas mengenai kapasitas dan kedudukannya apakah sebagai penggugat, tergugat, pelawan, terlawan, pemohon atau termohon. - Alasan-alasan gugatan (Fundamentum petendi atau posita).
Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan daripada tuntutan atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi.
Fundamentum petendi ini sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu: (1). Bagian yang menguraikan kejadian atau peristiwanya (fetelijkegronden). (2). Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden).
Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan didalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan yang memberi gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan.
Mengenai seberapa jauh harus dicantumkan perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada beberapa pendapat:
- Menurut Subtantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian itu adalah kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut, misalnya: penggugat menuntut hak miliknya selain menyebutkan bahwa sebagai pemilik ia juga harus menyebutkan asal-usul kepemilikan tersebut.
- Menurut Individualiseringstheori, sudah cukup dengan menyebutkan kejadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal tersebut perlu dikemukakan dalam sidang yang akan ada dalam acara pembuktian.
Yang dimaksud dengan tuntutan atau petitum adalah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan mendapatkan jawaban didalam dictum atau amar putusan (Pasal 8 Nomor 3 B. Rv).
Tuntutan yang kurang jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan tersebut, demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain atau disebut abscuur libel (gugatan tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak tergugat, sehingga menyebabkan gugatan ditolak yang berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI No. 443 K/Sip/1983 tanggal 30 November 1983.
Dalam praktik peradilan ada beberapa macam tuntutan, yaitu:
- Tuntutan pokok atau tuntutan primer yang merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita.
- Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara yang merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, tuntutan tambahan berwujud: (a). Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara. (b). Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan banding dan kasasi. Didalam praktek permohonan uitvoerbaar bij voorraad sering dikabulkan, namun demikian Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah mengabulkan tuntutan tersebut. (c). Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratair) apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu. (d). Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan. (e). Dalam hal putusan cerai sering disebut juga tuntutan nafkah bagi istri (Pasal 59 ayat (2), 62, 65 HOCI, Pasal 213, 229 BW) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, Pasal 232 BW).
- Tuntutan subsider atau pengganti.
Tuntutan ini diajukan dalam rangka mengantisipasi apabila tuntutan pokok dan tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi "Ex Aequo Et Bono" yang artinya hakim mengadili menurut keadilan yang benar atau mohon putusan yang seadil-adilnya.