Sebaliknya, jika isi kaidah itu bertentangan dengan hati nurani, maka kewajiban yang ada dalam Undang-undang itu semata-mata hanya karena ada sanksi. Untuk yang terakhir ini disebut hukum yang memaksa, karena sifat kepatuhan masyarakat terhadap Undang-undang itu tidak didasarkan atas panggilan hati nurani atau kesadaran dirinya bahwa Undang-undang itu memang wajib dipatuhi, tetapi lebih didasarkan karena takut terkena sanksi/ancaman hukuman.
Hukum (ius) selalu terkait dengan keadilan, sedangkan hukum sebagai Undang-undang (hukum positif) tidak selalu terkait dengan keadilan, sungguhpun yang hendak dicapai melalui Undang-undang itu adalah keadilan.
Para filsuf Neo-Kant, yang menyadari relativitas keadilan, memandang bahwa hukum positif harus dipisahkan dari cita keadilan. Pandangan ini muncul karena mereka tidak berhasil meletakan patokan-patokan yang mutlak tentang keadilan kecuali atas dasar keagamaan. Namun, pada akhirnya agama adalah masalah wahyu dan keyakinan.
Sementara filsafat yang menjadikan pengetahuan tentang keadilan sebagai persoalan naluri atau hati nurani. Jadi keadilan bagi mereka hanya masalah prinsip kebijakan, kebaikan, atau semata-mata dalam kekuasaan manusia. Munculnya problem ini pada akhirnya membawa mereka pada rumusan cita-cita keadilan berhubungan dengan peradaban. Persoalannya adalah jika suatu Undang-undang dipandang oleh peradaban manusia bertentangan dengan cita-cita keadilan, layakah dipatuhi?
Sebagaimana telah diuraikan diatas, keberlakuan suatu Undang-undang bukan semata-mata karena terpenuhinya unsur keadilan. Melainkan karena adanya unsur sanksi. Kepatuhan seseorang atas suatu peraturan hukum lebih utama karena peraturan hukum itu bersifat memaksa. Namun demikian, dalam suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokrasi, peraturan hukum yang dianggap oleh masyarakat bertentangan dengan keadilan, akan menghadapi protes keras dari masyarakat sehingga efektivitasnya akan terganggu.
Jalan yang terbaik adalah, sebelum lembaga legislatif (pembentuk Undang-undang) membuat Undang-undang, ia harus mampu mendengar aspirasi masyarakat mengenai keadilan, sehingga Undang-undang yang dibuat itu tidak akan jauh menyimpang dari rasa keadilan masyarakat.
Penulis sependapat dengan teori keadilan menurut aliran hukum alam, karena hukum alam sendiri bersifat obyektif dan berlaku dimana-mana. Maka keadilan dalam pandangan ini adalah suatu yang obyektif dan berlaku tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sehingga apa yang dinilai adil oleh bangsa Timur akan dinilai adil pula oleh bangsa Barat. Hal yang sama juga terjadi pada HAM karena secara substantif HAM mengandung nilai-nilai universal.
Namun, jika nilai HAM itu sampai pada definisi operasional, ia akan menjadi relatif. Kalau disini kita analogikan dengan syariat Islam yang mengandung kebenaran universal, maka ketika sampai pada definisi operasional berupa fiqih, kebenarannya menjadi tidak mutlak lagi atau bersifat relatif.
Untuk itu, upaya penegakan HAM di Indonesia, sebaiknya dilakukan dan ditujukan semata-mata untuk kepentingan tegaknya keadilan, bukan karena ada motivasi kepentingan politik kelompok tertentu baik yang sedang berada di tingkat kekuasaan atau yang ada di masyarakat.
Komnas HAM seharusnya lebih proaktif lagi dalam melakukan penyelidikan guna menuntaskan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negara Indonesia, baik yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, ataupun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang saat ini sedang berjalan.