Setiap orang yang cakap dalam lalu lintas hukum terkadang akan berhubungan dengan perjanjian atau kontrak. Perjanian yang dibuat bisa secara tertulis atau lisan.
Perjanjian secara tertulis beraneka ragam bentuk dan coraknya, tergantung kebutuhan masing-masing pihak yang membuatnya. Yang umum dikenal adalah perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, pinjam-pakai, perjanjian kerja, dan masih banyak lagi jenis perjanjian lainya.
Setiap perjanjian pada hakikatnya merupakan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Saat membuat perjanjian sudah tentu akan terjadi tawar-menawar (bargaining) antara para pihak. Hal tersebut wajar karena perjanjian akan selalu menimbulkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak. Oleh karena itu amat diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam membuat dan menyepakati perjanjian.
Apapun jenis dan obyek perjanjian atau kontrak, pada hakikatnya perjanjian mengandung kehendak para pihak untuk mengikatkan diri guna melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dengan demikian semenjak perjanjian dibuat, akan timbul hak dan kewajiban bagi para pihak. Pihak yang ingkar janji (wanprestasi) dapat dituntut/digugat oleh pihak lainnya untuk segera melaksanakan kewajibannya.
Perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. hal ini sejalan dengan "asas kebebasan berkontrak" (consensual) yaitu pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada maupun yang belum ada pengaturannya sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: "setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undan-undang bagi mereka yang membuatnya".
Adapun Syarat Sahnya Perjanjian secara hukum harus memenuhi empat (4) syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1. Kesepakatan
Perjanjian tidak sah apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan. perjanjian harus dibuat
dengan didasari persetujuan ikhlas para pihak.
2. Kecakapan
Yang dapat membuat perjanjian adalah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum.
Walaupun pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat perjanjian, namun
ada pengecualian, seperti anak-anak, orang dewasa yang ditetapkan dibawah pengawasan (curatele), dan
orang sakit jiwa. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang termasuk
anak-anak adalah orang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun; kecuali jika dia sudah atau pernah
menikah.
3. Hal Tertentu
Yang dimaksudkan dengan "hal tertentu" dalam perjanjian adalah obyek yang diatur harus jelas. Misalnya,
perjanjian jual-beli rumah harus jelas rumah yang mana, luas tanah dan ukuran bangunannya berapa, dan
sebagainya. Semakin jelas obyeknya, semakin baik perjanjian itu.
Walaupun para pihak dapat membuat perjanjian apa saja, namun ada pengecualian yaitu sebuah perjanjian
tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum, moral dan kesusilaan.